Sore-sore, saya nongkrong di jembatan kaki gunung. Kebetulan sedang akan ada pemakaman. Menurut cerita, seseorang telah meninggal karena dibunuh oleh kepala suku pedalaman Airlangga. Yang meninggal seorang wanita muda. Baru berusia 21 tahun. Wanita muda itu dibunuh ketika sedang traveling ke pedalaman suku Airlangga. Saat saya melongok jenazahnya, terlihat banyak sekali luka di sekujur tubuhnya. Luka-luka tersebut sepertinya bekas sabetan pedang tajam dan panjang. Bahkan, bagian wajahnya pun ada sebaris luka membelah wajah. Mengerikan.
Saat saya sedang menatap jenazahnya, secara tiba-tiba jenazah itu bangkit, berdiri dan ingin merangkul saya. Sontak saja, saya berdiri dan ngabur. Jenazah penuh luka itu mengejar saya. Ketika akhirnya saya terpojok, jenazah itu bicara dengan suara diseret, karena bagian tenggorokannya nyaris putus.
Saya merinding mendengar desusannya di depan muka dengan wajah dan sekujur tubuh penuh luka. Darah kering membaris di barisan-barisan luka panjangnya.
Saya memejam mata saking ngerinya, dan ketika terbuka, jenazah hidup itu sudah lunglai. Saya berlari ke tempat di mana penduduk kampung berkumpul untuk berdoa bersama membawa peti mati menuju kuburan.
Di sana saya bertemu seorang pria separuh baya. Tanpa basa basi, saya langsung bertanya di mana lokasi Suku Airlangga berada.
“Itu suku adanya di Bengkulu,” katanya.
“Bengkulu yang ada di Sumatera?”
“Bukan. Ini Bengkulunya beda. Bengkulunya ada di ujung perjalanan menuju Pelabuhan Ratu, tetapi harus melewati Padalarang. Lokasinya ada setelah Padalarang, tetapi setelah Bandung. Posisinya ada di atas bukit cadas. Di situlah posisi Suku Pedalaman Airlangga.”
“Jauh banget ya lokasinya. Sedikit bikin bingung.”
“Kata orang-orang, memang sih hanya orang tertentu saja yang bisa menemukan posisi tepat Suku Airlangga.”
“Lalu, itu wanita meninggalnya kenapa?”
“Menurut cerita juga, setiap orang yang datang ke suku itu akan diburu sebagai binatang liar, tetapi tidak akan ditembak di tempat. Hanya diburu saja untuk dimasukan ke kandang kambing. Kalau berusaha mencoba melarikan diri, baru dibunuh, kaya gadis desa itu.”
“Serem banget!”
“Kalau mas niat ke sana, pokoknya harus ikutin semua kemauannya kepala suku. Jangan membantah.”
Kepala Suku Airlangga menurut cerita suka sekali berburu. Ia berburu menggunakan panah. Dan saya harus pergi ke pedalaman Suku Airlangga, untuk bertemu dengan kepala suku. Entah dengan tujuan apa. Yang penting saya datang dulu saja.
Setelah menempuh perjalanan tidak jelas, akhirnya saya tiba di sebuah hutan cadas putih. Dari hutan cadas putih itu, saya harus berjalan lagi sejauh tak terhitung waktu menuju bukit tertinggi di hutan itu. Sesampainya di bukit, ada sebuah gerbang dari bambu. Gerbang sisi kiri dan kanan dipasangi tombak-tombak tajam. Di bagian depan pintu gerbang sudah mengantri para penduduk suku. Saya ikut mengantri. Untuk masuk ke perkampungannya.
Saya dan penduduk suku lainnya digiring masuk ke kandang kambing. Kata penjaga suku, katanya untuk dipilih, mana yang layak bertemu kepala suku, jangan pernah ada yang keluar dari kandang kecuali ingin mati disabet-sabet pedang seluruh tubuhnya.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya saya dipanggil oleh kepala suku. Kepala sukunya masih muda ternyata. Umurnya sekitar 25 tahun. Perawakannya kecil, di kepalanya membelit kain warna coklat dan memakai celana setengah dengkul. Ia duduk di singgasana kepala suku, di depan perapian.
“Dari semua yang ada di kandang,” ucapnya ke arah saya, matanya setajam ujung anak panah, “Cuma kamu yang saya pilih, untuk menemani saya.”
“Terima kasih, Kepala Suku,” saya jawab sedikit gugup. Gugup karena takut ketahuan kalau maksud saya datang ke Suku Airlangga untuk membunuh kepala suku yang telah membunuh gadis desa.
Saya pun diajak jalan-jalan di dalam rumah kepala suku. Rumahnya terbuat dari kayu. Model rumahnya seperti campuran rumah adat Toraja dan Sunda. Kompleks perumahan kepala suku memiliki luas sekitar selapangan bola. Di belakang kompleks perumahan terhampar lautan biru pantai selatan.
“Ini posisi kita ada di Bayah,” lanjut sang kepala suku.
Dia pun curhat sambil menunjukkan seisi rumahnya yang didominasi kayu. Sang kepala suku curhat, bahwa semakin sedikit suku asli di kompleksnya. Semua sudah keluar dari kompleks suku asli dan berbaur dengan penduduk biasa. Penduduk biasa rumahnya sudah modern, dibata, ditembok, disemen dan sudah menggunakan genteng modern juga. Katanya ia perihatin dengan kelangsungan sukunya. Bisa jadi, sukunya, beberapa tahun ke depan, akan musnah. Padahal, katanya, hidup sebagai suku Airlangga cukup nyaman dan serba cukup. Lihat saja, katanya sambil menunjuk perkebunan anggur, jagung dan buah-buahan lainnya.
Saya melihat sekeliling. Benar sekali katanya. Buah-buahan tumbuh subur. Bahkan anggur pun buahnya segede-gede apel. Saking suburnya.
“Kamu harus ikut memelihara suku ini,” tutupnya, “Kalau tidak mau, saya akan membunuh kamu sekarang juga.” Ia mengeluarkan pedang dari balik punggungnya.
Saat itulah ia tiba-tiba mengeluh mules. Ia pamit ke toilet dan sebagai gantinya untuk mengawasi saya, ia memanggil wakil kepala suku. Wakilnya lucu banget! Cantik! Chubby! Montok! Semok! Putih! Dan ramah sekali. Kemudian saya membayangkan wakil kepala suku. Seandainya saya membunuh kepala suku dan bisa menggantikan posisinya, akan saya kawin saja wakil kepala suku itu dan membuat kerajaan sendiri.
Khayalan saya terus merajalela di kepala sampai bencana menerjang kompleks Suku Airlangga. Angin puting beliung menerjang rumah pedalaman suku dan saya berlari menyelamatkan diri di balik pohon sambil menyaksikan seluruh rumah kepala suku porak poranda.
Saya menarik napas panjang dan membuka mata. Bangun dari tidur yang panjang.