
Kenapa, ketika berada di tempat baru, kita selalu bilang,
“Enak ya tinggal di sini!”
“Enak ya tinggal di pesisir pantai!”
“Enak ya tinggal di pegunungan!”
“Enak ya tinggal di tempat dingin!”
“Enak ya tinggal di pulau terpencil!”
Apalagi coba. Yang pernah ke Iceland, pasti bilang, “Enak ya tinggal di Iceland!” atau yang pernah ke tempat baru, pasti pernah terbersit kalimat itu.
Seperti kata pepatah dari monyet yang bergelantungan di pohon, sesuatu yang indah atau pun enak itu bisa kita nikmati ketika hanya sesaat saja. Bener juga tuh monyet. Nonton kembang api juga bosen kalau kelamaan. Orgasme juga bosen dan cape kalau kelamaan. Coba saja orgame seharian non stop atau nonton kembang api semalam suntuk. Ledeh deh tuh mata.
Makanya, saya percaya pepatah monyet. Sesuatu yang indah itu memang sewajibnya hanya bersifat sementara, supaya kita selalu merindukan momen itu lagi. Sama halnya juga bepergian ke tempat –tempat baru, sudah selayaknya kita hanya diperkenankan mampir sejenak saja, lalu pergi dan kelak, jika alam semesta mengizinkan, kita akan kembali menikmati pemandangan yang kita rindukan. Entah pantai, entah gunung, entah desa atau pun kota.
Begitu pun kemampiran saya di Lampung. Bersifat sementara. Untuk bisa menikmatinya lagi dengan antusiasme yang sama kelak, kini saya harus merelakannya pergi, segera meninggalkannya. Jika ada waktunya, saya akan kembali.
Jadi, marilah kita pulang ke Jakarta.
Sebelum mampir ke toko oleh oleh YEN YEN, kita makan dulu di rumah makan murah meriah. Makan kenyang berempat cuma bayar 175 ribu!
Pulang ke Jakarta, di sepanjang jalanan, bagi yang doyan durian, bisa berhenti kapan saja, sebab segala ukuran dan harga durian memancing pemangsanya di setiap tenda-tenda durian pinggir kanan kiri jalan.
Doa saya, SEMOGA KETIGA TEMAN SAYA NGGAK TERGODA MAKAN DURIAN!
Namun, semesta berkata lain. Mereka tergoda juga makan durian. Bangke! Alamat bau durian dah. Tapi, beruntung, niat mereka membeli durian untuk dibawa ke Jakarta tidak jadi. Mereka makan di tempat sampai pada keliyengan. Tinggal minum bir aja tuh sama ditutup makan sate kambing.
Tiwaaasss!
Dan benar saja kan, sepanjang perjalanan, setiap kali sendawa, mobil pun dipenuhi BAU NAPAS DURIAN. Hoeeeeeks! Ampun dah ah! Nasib nggak doyan durian ya, disiksa bau durian aja rasanya udah kesel bingits!
Untuk meredam bau napas durian, saya ajak mereka ngopi. Tentu saja ngopi di tempat heits Lampung. Eh, susah ya nyari kedai kopi di Lampung. Datang ke dua tempat yang rekomen dari blogger banget, dua-duanya tutup. Lhaaa!? Gimana ceritanya ini, Lampung sebagai daerah terkenal penghasil kopi Robusta namun jarang banget ada kedai kopi, nggak kaya ke Pematang Siantar atau Aceh yah.
Karena kecewa sudah macet-macetan di Lampung demi menikmati kopi kedai kopi yang ternyata tutup, akhirnya kami memutuskan ambil jalan Trans Sumatra dan melesat menuju Bakauheni.
Mobil melaju dengan kecepatan tak terkira, menyalip truk, menyalip kontainer, menyalip bis, menyalip motor, menyalip penjual duren yang selalu ada lagi dan ada lagi, menyalip rumah, menyalip ratusan pohon, menyalip sepeda, warung dan orang-orang, lobang dihajar, tikungan ngepot, turunan digeber, tanjakkan digas abis-abisan sampai mentok, jalan lurus koprol-koprol dan akhirnya mendarat di kapal juga.
Kapal melaju dari Bakauheni menuju Jakarta. Kita pulang dengan aman, dengan perut kenyang dan pikiran senang.
Dan, ada cerita yang bisa diceritakan di blog dan untuk anak cucu kita kelak.
Sampai ketemu di KABUR DARI JAKARTA berikutnya!
Cau!






“sonofmountmalang”