
Jogja dijenguk malam. Udara menembus hembus. Setengah dingin. Jalanan mulai kosong. Kehidupan berpusat di Jalan Malioboro dan sekitarannya. Bulan malas di balik tipis awan. Sesayupan pesawat merobek keperawanan awan di malam pekat. Tiada hujan malam ini. Itulah syarat terbaik untuk menyusuri jalanan Jogja. Sekedar mencari sepenggal daging merah ditusuk jari-jari sepeda. Lantas dibakar di atas nyala-nyala bara. Sampai meregangkan aroma sedap ke semesta malam. Nyaring kodok di sawah sisa hujan genangan semalam. Bersahutan demi menyampaikan rasa kasmaran. Harap satu kekasih tertipu. Bercinta hingga membanjiri sawah.

Sementara itu.
Di tengah pikuk hirup kodok, aku tak berhenti melepas pandang. Pada daging-daging menyerocos dibakar bara malam. Pada tulang-tulang korban kelaparan sepotong daging kambing. Tengkorak-tengkorak, pipilan daging-daging melekat di pipi kiri, tulang kepala dan lima panca indera. Semakin mengeruk nafsu manusia. Tergiur juga aroma dan warna kuah seribu rempah. Di dalamnya terdiam belulang daging diresapi bumbu rempah, dengan bara membakar lembut di pantat gentong panci besar. Berminyak, gurih dan panas. Kombinasi sempurna bersama kelam dan riang kodok-kodok di persawahan.
Inilah Jogja di malam temaram, Kota Klathak, julukan untuk mereka, kita dan semua pencinta mati sampai mati para kambing-kambing muda, perjaka dan perawan.
Kita terhenti sejenak di Klathak Mak Adi di Jalan Imogiri Timur. Menikmati tongseng gurih, klathak juicy, nasi panas dan siraman manis-manis teh panas.
Kenyang. Pulang. Terlelap.
Selamat mengelathak!












“sonofmountmalang”