
Dear Ranting…!
Terakhir menulis surat cinta itu tahun 2017 saat umurmu sudah empat tahun. Di tahun 2018 aku absen menulis surat cinta, begitu pun di tahun 2019. Lupa. Karena aku terlalu asik melihatmu tumbuh, pusing ketika sakit, bahagia kita tertawa, bercerita tentang hal banyak. Mulai berdebat sampai kamu nyerah, lalu marah. Atau, aku malah yang ngambek. Saking serunya, aku sampai benar-benar aku lupa menulis kembali. Sampai diingatkan blog aku nih. Katanya kalau tidak aktif di bulan Februari ini, blog aku bakalan diudahin. Jadi aku harus kembali menulis tentangmu, cinta matiku. Terlihat lebay yah, Ran. Tetapi, itulah kenyataannya. Aku, mungkin salah satu bapak, yang bisa dibilang, terposesif sedunia. Mahahahah! Bahkan sampai mamak kau itu, cemburu, Ran. Sepertinya, dia akan lebih cemburu, ketika aku terlalu segimana mungkin sama kamu, Ran. Ketimbang aku iseng segimana mungkin dengan wanita lain. Hmmmm…!
Okeh, Ran. Aku nulis lagi ya.
Di 2020 ini, kita sudah 6 tahun melakukan perjalanan bertiga. Aku, kamu dan mamak kau. Istilah mamak kau itu kita dapat dari anak tetangga yang baru saja pindah dari Medan. Kamu bingung, ‘kan? Apa itu mamak kau! Makanya, Ran. Menjelajahlah. Dengan begitu, kamu akan tahu banyak, tentang betapa Indonesia kaya budaya. Klise memang, tetapi itu kenyataan tentang Indonesia. Lihat saja tetangga kita. Sepuluh deret rumah, tidak ada satu pun dari satu daerah yang sama. Termasuk kita. Ibumu China Mangga Besar, bapakmu dari Gunung Malang. Lahirlah kamu. Coba apa nyebutnya. Chigun? China-Gunung? Tapi ya Ran, itu tidak penting. Kelak kalau ada yang nanya, dari mana asalmu. Bilang saja, dari Indonesia. Supaya tidak ada pertanyaan lebih panjang tentang asal-usulmu. Karena memang itu tidak penting diketahui orang. Termasuk apa agamamu. Seperti aku ini. Rata-rata, temanku tahunya, aku nyembah pohon, gunung, neon, kopi, tiang listrik, sungai, dan alam semesta raya. Begitu ya. Biar tidak pusing tentang apa agama kita. Itu rahasia kita dan sama apa yang kita percaya. Jadi ngelantur yah.
Seperti janji aku, waktu kamu masih kecil. Ran, temani aku naik gunung jika aku masih kuat menjejakkan kaki di atas batu-batu, undakan dan tanah menanjak itu. Supaya kita berdua bisa melihat, merasa, bahwa betapa menyenangkan berada di puncak, ketinggian sebuah gunung. Karena mamak kau tak akan kuat naik gunung. Dia terlalu anak kota. Tapi tak apa, ajak dia dan kalau ia tidak kuat, gendong mamak kau ya, karena aku tak akan kuat menggendongnya. Kamu tahu, ‘kan. Kenapa aku tak akan kuat.
Ah, kapan kita bisa, bersama, berdua, atau bertiga, mendaki dan ngobrol sepanjang hutan di setapak jalan, hingga tak terasa sudah berada di titik teratas gunung tujuan kita mendaki.
Setelah berdiskusi, gunung pertama apa yang akan kita bersama jejakkan kaki. Jatuh kita pada pilihan gunung yang tidak terlalu tinggi. Salah satu gunung paling bersahabat untuk kita merasakan aroma kabut, semerbak sesak belerang, tiupan angin bersuhu 10 derajat. Papandayan yah. Cukup bersahabat. Tidak terlalu jauh. Itu kali pertama kita naik gunung. Tidak susah kan? Hanya perlu mengatur napas. Berhenti ketika lelah. Kurangi bicara ketika tanjakan curam. Bicara ketika jalanan melandai atau duduk di atas batu, istirahat, sambil membasahi kerongkongan dan melihat sejauh apa kita sudah melangkah. Menyenangkan, bukan? Ran? Suatu ketika tumbuh dewasa, jelajahinya, tidak hanya gunung, seperti nasibku ketika muda, hanya bisa mendaki. Jelajahilah semuanya. Jadilah penjelajah! Ingat ya, dongeng sebelum tidur. Kalau bukan karena aku mencoba menjadi penjelajah walau tidak sejauh lingkaran bumi, aku, jadi bisa bertemu mamak kau. Jika tidak, aku pastinya sudah berdiam di kaki gunung dan menikahi banyak gadis desa. Hahaha! Pede kan aku? Ya, pede dulu saja Ran. Itu sangat penting dari pada minder.
Masih ingat ‘kan saat aku bilang ketika naik gunung? Pertama, jangan percaya mitos. Aku nih Ran, lebih takut ketemu binatang buas ketimbang mitos-mitos soal setan. Hantu penunggu pohon ini, pohon itu. Kenapa? Selama keluar masuk hutan, tidak pernah aku dipertemukan sama mitos—mitos seperti tukang jualan mistis gembor-gemborkan. Jadi, santai saja kalau ke hutan. Pastikan kamu tahu jalan pergi dan jalan pulang. Pastikan juga kamu tahu tentang hutan dan segala isinya. Dulu, kakek aku bilang, kalau kehabisan makanan dan minuman di hutan, kemudian tidak tahu jalan pulang ke arah mana. Tenang saja, katanya. Semua makanan dan minuman ada di hutan. Banyak buah dan daun yang bisa dimakan. Bahkan, pohon sejenis palem, kata kakek aku, itu bisa dimakan. Banyak pisang hutan juga. Pokoknya banyak. Suatu waktu dalam beberapa minggu, aku pergi ke hutan bersama kakek aku dan dia memberi tahuku semua yang bisa dimakan dan diminum di hutan. Oh, ya Ran. Tahu kenapa kakeku tahu seluk beluk hutan? Dia salah satu veteran perang yang kerjaannya dikejar-kejar tentara Jepang dan Belanda sampai ke hutan, dan harus tinggal di hutan berminggu-minggu tanpa makanan. Nanti ya, pelan-pelan, akan aku kenalkan juga makanan apa saja yang bisa kamu makan di hutan. Kamu harus mencobanya ya. Seperti yang aku bilang, cobalah semua. Karena dengan mencoba, kamu tahu semuanya. Supaya kelak, kalau kebetulan iseng tersesat di hutan dan tak ada makanan, kamu tahu apa yang harus kamu makan di hutan untuk bisa bertahan hidup dan punya tenaga untuk kembali pulang di jalan yang benar. Hahhaha!
Udah dulu ya. Kebanyakan nulis. Nanti aku lanjutkan lagi surat cintanya jika ada waktu senggang.
Selamat menjelang ke umur enam tahun ya Ran. Jadilah penjelajah!
,-Dari bapak kau si anak gunung!
“sonofmountmalang”